You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.

Sistem Informasi Desa Karamat Mulya

Kec. Soreang, Kab. Bandung, Prov. Jawa Barat

Sejarah Desa


“  LEGENDA EYANG CEBEK  “

 

Salah satu tempat yang sampai saat ini masih banyak dikunjungi peziarah adalah makam Eyang Cebek di kampung Babakan Cebek Desa Karamat Mulya. Peziarah yang datang tidak hanya berasal dari wilayah Soreang, akan tetapi juga dari luar daerah terutama daerah Cianjur Selatan, Jampang dan sekitarnya. Masih banyaknya para penziarah yang berkunjung ke makam Eyang Cebek karena menurut mereka Eyang Cebek adalah salah seorang tokoh besar yang terkenal karena kesalehan dan kezuhudannya, serta kemampuan-kemampun luar biasa yang timbul dari kekaromahannya. Sumber Petamalegenda Eyang Cebek kami peroleh dari Bapak TEDI SUYATNA, beliau adalah keturunan ke limadari Eyang Cebek, Sumber kedua diperoleh dari Bapak ELON SUKRON, beliau adalah pengurus makam Eyang Cebek saat ini meski tidak ada kaitan langsung dengan Eyang Cebek, namun beliau merupakan pembantu utama dari Bapak AGAH WIRADIREJA cucu dari Eyang Cebek, dan Sumber yang ke Tigadiperoleh dari Bapak KOMARA SUKMARA, beliau memperoleh cerita tersebut dari kakeknya, Bapak Dahuri, yang merupakan anak dari salah satu murid Eyang Cebek. ---Legenda Eyang Cebek Sebagai berikut  --------------------------------------------------------------

 

       lkisah, Raden Arya Anggadikusumah, Patih Bandung, sedang bertapa di daerah Garut karena menginginkan ilmu kesaktian yang melampaui kemampuan manusia. Setelah bertapa sekian lama beliau mendapat wangsit bahwa ilmu yang dia cari sekarang sudah diperoleh tapi berada di rumahnya sendiri di Kabupaten. Sesampainya di Kabupaten beliau menjadi terkejut setelah melihat bahwa istrinya tengah hamil tua, padahal waktu keberangktan istrinya tidak sedang mengandung dan tidak sesuai dengan usia kandungan pada umumnya. Ternyata ilmu yang selama ini beliau cari berada di bayi yang sedang di kandung oleh Istrinya. Sehingga ketika lahir anaknya diberi nama Raden Musthafa Adikusumah, yang berarti anak hasil bertapa atau disebut juga Raden Haji Abdul Gholib yang berarti yang berasal dari alam gaib.

Sejak kecil Raden Haji Abdul Gholib berbeda dengan anak-anak yang lainya baik dari perilaku maupun dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan kesaktian, bahkan ayahnya pun tidak mampu menandingi kemampuannya. Bahkan ada satu sisi yang kurang berkenan bagi ayahnya yang tidak sesuai dengan kedudukannya segabai putra patih Bandung, yaitu Raden Musthofa Adikusumah sangat tidak menyukai bangsa Belanda yang pada waktu itu menjadi penjajah Indonesia, termasuk Kabupaten Bandung. Menginjak dewasa, sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa yang berhak mendapatkan tahta kedaleman adalah anak yang paling tua, namum ternyata yang dipilih oleh Raden Arya Anggadikusumah adalah keponakannya yang kemudian terkenal sebagai Dalem Bintang. (dalam versi yang lain justru Raden Musthafa Adikusumah menolak menjadi dalem karena dia tidak mau menjadi anak buah colonial Belanda). Setelah diusut ternyata hal itu dikarenakan karena orang tuanya, raden Arya Anggadikusumah selain merasa masygul karena kesaktiannya kalah oleh anaknya sendiri juga karena Raden Musthafa Adikusumah tidak menaruh hormat kepada Belanda. Melihat ketidak adilan tersebut Raden Musthofa Adikusumah hanya berucap “ …Lihat saja nanti, kalau aku berada dalam kebenaran maka Kabupaten sendiri nanti yang akan mengikutiku .. “  setelah itu beliau pergi meninggalkan Kabupaten. Sejarah membuktikan bahwa akhirnya ibukota Kabupaten Bandung memang berada di Soreang di tempat Raden Musthafa Adikusumah alias Eyang Cebek dimakamkan.

Semenjak itu Raden Musthafa Adikusumah berkelana ke segala penjuru pulau Jawa, sampai beliau mendapat wangsit untuk mengamalkan ilmunya ke daerah Selatan, yaitu daerah Ciujung Jampang untuk mengislamkan masyarakat disana. Pada saat itu di daerah Jampang yang berkuasa adalah para tukang teluh. Para tukang teluh tersebut berusaha untuk mencelakakan beliau namun dengan ijabah Alloh tidak ada satu pun yang bisa mencelakainya malah pada akhirnya meihat kebaikan Eyang Cebek yang tidak mau membalas perlakuannya mereka bertobat dan masuk islam. Sampai akhirnya beliau mendapat wangsit bahwa titik akhir pengelanaannya harus mengikuti perjalanan Sembah Dalem Walikusumah atau Eyang Karamat yang berada di Pasir Karamat di wilayah Kecamatan Soreang. Seterusnya  beliau  menikah  dengan  salah  satu warga disana yang bernama Siti Aminah dan memutuskan untuk membuka daerah tersebut disebut Babakan Cebek yang berada di Desa Karamat Mulya sekarang. Mulai saat itu beliau dikenal sebagai Eyang Cebek atau Eyang Sepuh karena memang sudah sepuh.

Eyang cebek tidak pernah berhenti zikir dan berpuasa, tiap empat puluh hari berpuasa beliau hanya makan satu bonggol jagung, sambil terus menerus berzikir menyebut nama Alloh, jadi karena terus-terusan berzikir menyebut nama Alloh dengan irama yang tetap orang menganggap beliau kena penyakit asma. Ajaran yang diperdalam oleh Eyang Cebek adalah Tarekat Kadariah Satariah dan Tarekat ini diajarkan hanya kepada murid-muridnya yang telah dianggap telah memenuhi persyaratan dan waktu pengajarannya tengah malam setelah sholat tahajud. Tidak ada orang yang berani melanggar aturan itu, karena pernah terjadi ada yang mencuri-curi dengar ajaran ini menjadi gila atau buta.

Keanehan Eyang Cebek adalah ketika orang lain sholat jum’at di tajug, beliau malah masuk ke kamar. Keanehan ini mengundang kepenasaran cucunya, sehingga suatu ketika ia mengintip melihat Eyang Cebek masuk kamar ketika Jum’at tiba. Dia merasa ketakutan ketika melihat Eyang Cebek sudah terbujur tak bernapas, maka seketika semua warga geger bersiap-siap untuk menguburnya, namun ketika sholat Jum’at selesai, tiba-tiba beliau bangun seperti biasanya. Ketika ditanyakan maka beliau menyatakan bahwa tiap Jum’at beliau pergi shalat Jum’at di Masjidil Haram. Ucapan ini tentu saja memunculkan ketidakpercayaan warga namun ketika ada beberapa orang warga pulang naik haji dia bersaksi bahwa setiap shalat Jum’at selalu berjumpa dengan Eyang Cebek disana.

Contoh kesabaran dan kebaikan Eyang Cebek adalah ketika Belanda mencari buronan bernama Musthofa. Eyang Cebek tidak menginginkan warga yang tak berdosa menjadi korban kesewenang-wenangan Belanda, maka beliau secara sukarela ikut ke Jakarta untuk diadili dengan resiko nyawanya. Namun Buronan yang sebenarnya kemudian muncul mengakui perbuatannya pada saat Eyang Cebek akan dieksekusi gantung.

Kehebatan Eyang Cebek terkenal kemana-mana, bahkan dianggap apa yang diucapkannya selalu menjadi kenyataan. Karena kebenarannya, maka pada saat itu sudah hal yang biasa bila ratusan orang berduyun-duyun datang ke daerah Babakan Cebek untuk meminta dido’akan agar mendapat berkah. Dari mulai dalang yang ingin tenar, pedagang yang usahanya ingin maju, petani yang ingin memulai menanam padi atau kepentingan-kepentingan lainya.

Eyang Cebek wafat pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertulis pada makamnya). Ketika mangkat pun terjadi keanehan, ketika jasadnya akan dimasukkan ke liang lahat tiba-tiba jasadnya menghilang yang ada tinggal kain kafannya saja. Para kerabatnya berdo’a agar peristiwa ini tidak menjadikan kegegeran di masyarakat, tiba-tiba kain kafanya berisi lagi jasad beliau namun menyusut menjadi seukuran bayi.

Sampai sekarang pun penghargaan dan pengakuan orang akan kekaromahan Eyang Cebek masih tetap diakui orang terutama pada bulan Mulud.

 

  • Kajian Legenda Eyang Cebek :

 

  • Raden Arya Anggadikusumah adalahAyah Raden Musthafa Adikusumah. Beliu adalah seorang patih, jabatan setingkat di bawah Bupati.
  • Dalem Bintang atau Raden Adipati Wiranata Kusumah IV adalah Bupati Bandung ke VIII. Dalam cerita itu dikisahkan ia merupakan keponakan dari Raden Musthafa Adikusumah ( Eyang Cebek ) yang mendapat kewenangan untuk menduduki tahta kedaleman yang seharusnya menjadi hak Raden Musthafa Adikusumah.
  • Latar Tempat Kabupaten Bandung merupakan sentral latar tempat cerita itu, Pada saat itu pusat pemerintahan Kabupaten berada di wilayah Kotamdya Bandung saat ini, menurut penutur cerita bahwa rumah Raden Arya Anggadikusumah berada di Daerah Braga atau kantor PLN saat ini. Kota itu merupakan kota asal Eyang Cebek sebagai putra dari Patih.
  • Babakan Cebek merupakan titik akhir tempat perjalanan Raden Musthafa Adikusumah yang kemudian dikenal sebagai Eyang Cebek. Ia menetap dan membuka daerah baru dalam bahasa Sunda disebut ngababakan. Sehingga daerah tersebut dikenal sebagai Babakan Cebek yang berada di wilayah Desa Karamat Mulya Kecamatan Soreang.
  • Latar Waktu dalam cerita ini tidak diceritakan secara jelas, tetapi hanya dikisahkan Eyang Cebek merupakan paman dari Dalem Bintang. Bupati Bandung ke VIII yang menurut sejarah hidup di abad 19           ( 1846-1874 ). Dari data tersebut maka diperkirakan beliau lebih tua beberapa tahun dari Dalem Bintang, namun dikaruniai usia yang lebih panjang sebab dalam makam asli sebelum dipugar tertulis wafat pada tahun 1917.
  • Kajian Nilai Budaya
  • Unsur-unsur kebudayaan yang dapat dilihat dalam cerita rakyat Legenda Eyang Cebek dari tujuh unsure kebudayaan seperti yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1990:2) adalah :

ü  System Religi dan Kepercayaan.

ü  System dan Organisasi Kemasyarakatan.

ü  Bahasa.

ü  System Mata Pencaharian.

 
   


Demikian selanyang pandang atau sejarah singkat Desa Karamat Mulya yang dapat kami sampaikan kepada para pegiat Medsos, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua, terima kasih.

 

 

Bagikan artikel ini:
Komentar